Menjadi Orang Tua yang Transparan, Yay or Nay?

Sunday, December 18, 2022


Beberapa waktu lalu, ada konten TikTok yang menarik perhatianku. Bukan konten yang ‘wah’ atau heboh, justru video sederhana dengan teks yang memuat isi hati kreatornya. Singkatnya bisa kalian lihat di screenshot berikut ini.


“Gua gak akan setransparan itu buat cerita ke anak gua tentang masalah yang gua alamin.”

“Beban gua biar gua yang tanggung, anak gua jangan sampai tau. Yang penting pikiran dia happy, main, belajar selayaknya anak pada umumnya.”


Lalu aku cek kolom komentar, rupanya nggak sedikit orang yang mengamininya. Bahkan ada yang merasa ‘terpaksa’ menjadi pendengar bagi orang tuanya. Duh, aku jadi merasa tidak enak hati. Emang gak boleh ya kalau orang tua terbuka ke anak?

Apalagi soal finansial, menurutku sih anak juga perlu tau kondisi finansial orang tua, terlebih saat kondisinya sedang kurang baik. Tidak harus tau secara detail, minimal dia dapat mengukur kemampuan finansial orang tua dalam mendukung aspek kebutuhan dan keinginan sang anak.

Akhirnya aku membaca beberapa artikel di internet mengenai masalah ini untuk mendapatkan pencerahan, di antaranya dari KlikDokter, Republika, dan Mojok. Aku juga berdiskusi dengan Muffin (suamiku). Dari situ aku menarik kesimpulan, sebenarnya menjadi orang tua yang transparan pada anak tuh gapapa. Tentu asal ada batasnya.

Berikut hal-hal yang perlu jadi pertimbangan saat orang tua memilih transparan atau terbuka kepada anak:

1. Wajib memilah hal-hal yang hendak dibagikan kepada anak. Jangan sampai orang tua membagikan informasi yang tidak ada manfaatnya bagi anak. Pertimbangkan pula dampaknya bagi anak, apakah memang perlu informasi tersebut diketahui oleh anak?

2. Orang tua harus memperhatikan usia dan kemampuan anak dalam mencerna informasi. Terkadang ada hal-hal yang tidak perlu diceritakan atau sulit dicerna oleh anak usia di bawah 7 tahun. Selain itu, gunakan bahasa dan sampaikan informasi yang mudah dipahami oleh anak seusianya.

3. Jangan terlalu sering dan lama. Jangan sampai orang tua tidak sadar membebani pikiran sang anak akibat keseringan curhat atau berkeluh kesah. Jika merasa bersalah karena takut membebani, tidak perlu sungkan untuk meminta maaf.

4. Jangan cuma membagikan yang susah-susah. Ketika badai telah terlewati, ceritakan juga upaya yang dilakukan dalam menyelesaikannya. Hal ini agar anak dapat meneladani problem solving dari orang tua dan belajar tenang dalam menghadapi situasi yang kurang mengenakkan.

Selain itu menurutku yang nggak kalah penting, orang tua yang transparan perlu meningkatkan solidaritas dalam keluarga agar anak cenderung merasa menjadi bagian dari team ketimbang menjadi ‘beban keluarga’ ketika berada dalam situasi/kondisi yang kurang baik.

Kalian sendiri punya uneg-uneg serupa atau pandangan lain nggak perihal orang tua yang transparan kepada anak? Boleh dong share di kolom komentar!

Much love,
-Hilda Ikka-

2 comments

  1. Perihal ketransparanan ini aku setuju namun dengan pembatasan, serta ada tujuannya dari berbagi mengenai cerita. Terutama kalau keuangan, misal suatu ketika sedang tidak sebegitu lancar maka berkomunikasi dengan anak agar anak juga belajar mengerti keadaan. Tapi bukannya untuk membebani ya, hanya untuk memberikan pengertian untuk bertindak secara efisien dan hati-hati.

    Terus kalau dari pengalaman aku, aku merasa cukup terbebani secara emosional ketika salah satu dari orang tua bercerita mengenai kehidupan sebagai peran pasangan namun memiliki masalahnya sendiri dan itu diceritakan berulang-ulang menahun dengan cerita yang sama. Awalnya aku biasa aja tapi ternyata respon tubuhku tuh nggak begitu, aku jadi ikut merasa kepikiran, padahal kalau perihal masalah rumah tangga kan seharusnya diselesaikan mereka berdua ya. Rasanya jadi nggak enak dalam satu rumah tapi berasa jadi penampung salah satu unek2 yang tak bisa diselesaikan berdua.

    Ternyata hal yang kurasakan ini valid karena temanku juga bercerita mengenai keluh kesah salah satu orang tuanya yang berpisah, apalagi kalau lagi mulai self-blaming dan membicarakan yang negatif2, nggak enak aja di badan gitu hihi. Tp kami ya sama-sama mencoba bisa netral dan kadang membesarkan hati sambil sesekali detox diri krn menampung emosi2 negatif ini kerasa di badan wkkwkw

    Perihal bercerita juga aku setuju harus melihat situasi anak, umur, dan juga problem solvingnya. Jadi kan yang diceritakan jadi nggak berulang-ulang serta justru bisa menjadi pembelajaran yang berharga untuk anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak sudah berbagi ya Marfa :') keadaan kayak gini emang enggak mudah ya, terima kasih sudah bertahan dan berusaha menjaga diri baik-baik. 🥺🤗

      Delete

Hai, terima kasih sudah berkunjung dan membaca! Tinggalkan komentar yang baik dan sopan ya. Untuk saat ini, komentar saya moderasi dulu ya. Saya suka baca komentar kalian namun mohon maaf saya tidak selalu dapat membalasnya. Untuk berinteraksi atau butuh jawaban cepat, sapa saya di Twitter @hildaikka_ saja!